Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi di Indonesia yang dikenal dengan segala keindahannya, baik dari segi adat budaya, wisata alam, kuliner dan kerajinan warga masyarakatnya. Salah satu kerajinan yang memukau para wisatawan baik lokal maupun mancanegara adalah Kain Tenun Labuan Bajo.
Kita tentu tahu, di NTT terdapat banyak sekali tempat wisata yang harus kita kunjungi ketika berada di sana, antara lain ada Pulau Komodo, Danau Kelimutu, Pantai Nemberala, Desa Megalitik, Gua Liang Bua dan Labuan Bajo tempat asal kain tenun khas NTT.
Labuan Bajo adalah gerbang masuk ketika ingin berwisata ke Taman Nasional Komodo. Selain itu, wisata di pulau sekitar Labuan Bajo juga sangat menarik dan eksotis untuk dikunjungi seperti yang ada di Pulau Padar, Pulau Bidadari, Pulau Serayu, Pulau Kukusan Kecil dan Pulau Kanawa.
Keindahan-keindahan wisata ini tidak sempurna apabila wisatawan tidak membeli oleh-oleh atau cinderamata khas Nusa Tenggara Timur terutama kain tenun khas Labuan Bajo.
Cinderamata Cantik Nusa Tenggara Timur
Layaknya kain tenun songket dari wilayah lain seperti, kain tenun Pandai Sikek dari Minangkabau, kain Tenun Troso dari Jepara, kain Tenun Ulos dari Batak, kain Tenun Gringsing dari Bali dan kain Tenun Sasak dari Nusa Tenggara Barat, Kain tenun Labuan Bajo juga merupakan kerajinan tenun yang berbagai motifnya dipenuhi dengan hiasan dekoratif yang indah, desain menarik, keharmonisan komposisi dan berbagai bentuk ragam hiasnya yang memiliki karakteristik tersendiri.
Demikian pula saat dalam proses pembuatan motif-motifnya, baik dalam pengadaan bahan mentah, teknik pembuatan ragam hiasnya, pemberian warna, cara menenun dan juga fungsi pemakaian kain itu dalam kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur mampu mengundang decak kagum para wisatawan.
Makna Motif Kain Tenun Labuan Bajo
Di balik motif dan ragam corak yang indah, dalam Kain Tenun Labuan Bajo atau juga yang disebut kain songke (tanpa huruf akhiran T) Manggarai ini terdapat prinsip-prinsip struktural yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur dari dahulu sampai sekarang.
Sehingga sehelai kain songke tersebut tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk memperindah diri atau melindungi tubuh dari pengaruh alam saja, namun juga merupakan benda warisan budaya yang bersubstansi mengekspresikan nilai-nilai luhur dan juga merupakan kekayaan yang dimiliki suatu bangsa.
Ada beberapa motif kain songke yang ada di Manggarai Labuan Bajo, motif-motif yang dipakai ini pun tidak sembarangan dipilih, karena setiap motif ini mengandung berbagai arti, kearifan lokal dan harapan dari orang-orang Manggarai dalam hal kesejahteraan hidup, kesehatan dan hubungan baik antara manusia dengan sesamanya maupun manusia dengan alam serta paling utama manusia dengan Sang Pencipta.
Berikut beberapa motif kain tenun songke Labuan Bajo beserta arti makna yang terkandung di dalamnya;
- Motif Wela Kawu atau Bunga Kapuk, memiliki makna keterkaitan antara manusia dengan alam sekitarnya.
- Motif Ranggong atau Laba-laba, memiliki makna tentang kejujuran dan kerja keras.
- Motif Ju’i atau Garis-Garis Batas, memiliki makna tentang keberakhirannya segala sesuatu, bahwa segala sesuatu itu ada akhirnya dan ada batasnya.
- Motif Ntala atau Bintang, memiliki makna tentang harapan yang sering dikumandangkan dalam doa supaya senantiasa tinggi sampai ke bintang. Maksudnya agar senantiasa selalu sehat, diberikan umur yang panjang dan memiliki ketinggian lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan baik dalam hidup.
- Motif Wela Runu atau Bunga Runu, memiliki makna bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil namun mampu memberikan keindahan dan kehidupan di tengah-tengah kefanaan dunia.
Proses Pembuatan Kain Tenun Labuan Bajo
Keseluruhan pembuatan kain tenun Labuan Bajo ini diproses secara tradisional. Mula-mula membuat benang jahit dan benang tenun, dipintal dari kapas kering yang dipanen dari pohon yang ditanam sendiri oleh masyarakat setempat.
Proses pemintalan pun menggunakan alat pemintal tradisional yang oleh orang Manggarai Labuan Bajo menyebutnya dengan nama “gasong” atau alat yang terbuat dari papan kecil bulat dan ditengahnya terpasang kayu sebesar jari kelingking anak-anak.
Di ujung kayu kecil itu kemudian kapas dililitkan terus gasong diputarkan sehingga benang seperti dipintal, sambil jari tangan sebelah kiri menyambung kapas-kapas yang terpisah. Proses ini akan mengubah kapas menjadi benang.
Benang hasil pemintalan ini kemudian dililitkan pada tubuh gasong hingga alat ini benar-benar tidak terlihat kayu tengahnya dan terasa berat. Benang lalu dipindahkan dari gasong ke alat yang namanya ”woer”, yaitu alat untuk membentuk benang menjadi gumpalan-gumpalan berbentuk seperti bola.
Kain songket atau kain tenun Labuan Bajo lazimnya menggunakan benang warna hitam dengan menggunakan pewarna alami yang terbuat dari pohon nila dan arang. Setelah diberi warna, benang dikeringkan terlebih dahulu.
Jika benang akan dipakai sebagai benang jahit, maka benang hasil pemintalan itu harus terlebih dahulu diberi lilin agar licin. Namun bila benang akan dipakai untuk menenun sehelai kain, maka tidak perlu memakai lilin.
Setelah benang mencukupi kebutuhan untuk menenun kain songke, benang kemudian dibuat menjadi “mal” kain dengan alat tradisional, yaitu “wenggi” atau kayu berukuran kurang lebih satu setengah meter dan dua meter masing-masing sebanyak dua buah, kemudian dirangkai menjadi persegi panjang dan diletakkan setinggi kurang lebih 30 sentimeter di atas tanah dengan setiap sudut diberi bantu pengalas.
Untuk memulai membentuk mal songke, maka dibutuhkan 2 orang penenun untuk duduk di dalam mal lalu benang dikaitkan pada kayu yang dijadikan lebar, proses ini bisa dimulai dari samping kiri atau kanan, tergantung kelincahan dari para penenun.
Kemudian kedua penenun berbagai tugas baik memberi maupun menerima benang. Benang yang diterima lalu dikaitkan pada kayu lalu diberikan lagi kepada si pemberi, begitu seterusnya hingga mendapat ukuran yang diinginkan. Proses pembuatan ini biasa disebut dengan istilah “maneng”.
Setelah maneng selesai dikerjakan, mal kain songke dipindahkan ke alat tenun tradisional. Ketika proses ini sudah dilakukan, maka seluruh aktivitas selanjutnya adalah menenun berang hingga menjadi sehelai kain songke. Proses menenun ini membutuhkan waktu yang lama hingga berminggu-minggu dan bahkan bisa berbulan-bulan, tergantung pada motif yang digunakan, ketersediaan benang dan kemahiran si penenun songke itu sendiri hingga kain songke Manggarai atau kain tenun Labuan Bajo ini selesai dibuat.
Variasi Harga
Kain tenun Labuan Bajo ini sangatlah istimewa, selain nilai estetis dari setiap motifnya dan waktu untuk membuat kain songke ini, maka nilai jual dari setiap kain tenun inipun sangat tinggi. Kembali lagi pada masalah ukuran, tingkat kesulitan penganyaman motif dan lamanya proses penenunan, harga songke yang ditawarkan kepada para pelaku wisata mulai berkisar dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Para wisatawan baik lokal maupun asing bisa memilih variasi harga sesuai yang diinginkan sebagai cinderamata nan cantik, mau yang ratusan ribu atau yang jutaan rupiah, kain tenun Labuan Bajo ini tetap memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri karena setiap helai benang yang ditenun merupakan dedikasi tinggi dari para penenun asli warga Labuan Bajo yang menjaga kelestarian adat dan tradisi budayanya.
Simak dan terus ikuti artikel-artikel kami di web First Labuan Bajo. Terimakasih dan sampai jumpa.
Recent Comments